Meminta Kekuasaan
20 Feb 2020
20 Feb 2020
Suatu hari Umar RA, berniat memilih salah seorang sahabatnya untuk dijadikan pemimpin di suatu wilayah. Umar sudah berniat memberikan jabatan kepada sahabat ini. Namun, sahabat ini tergesa-gesa dan mendahului keputusan Umar dengan meminta jabatan tersebut.
Umar tersenyum bijaksana, “Sungguh, kami telah berniat memberikan jabatan kepadamu. Akan tetapi, barangsiapa mencari kekuasaan, ia tidak akan diberi jabatan itu dan tidak akan dikabulkan permintaannya.” Akhirnya, Umar menolaknya dan memberikan jabatan tersebut pada orang lain.
Di dalam Al-Qur’an diceritakan bahwa Nabi Yusuf AS berkata kepada raja Mesir, “Jadikanlah aku bendaharawan Negara Mesir, sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.”
Dua kisah diatas seakan bertentangan namun hakikatnya saling menguatkan. Apa sebenarnya yang mendasari Umar untuk tidak mengangkat sahabatnya yang meminta kekuasaan yang meyakini bahwa dirinya mampu sebagaimana Nabi Yusuf yang meminta jabatan ketika ia merasa mampu?
Jawabannya, ada pada keadaan ketika kekuasaan itu diberikan.
Pada kondisi Umar, kekuasaan itu diperoleh ketika suatu negeri aman dan mendapatkan kekuasaan bisa jadi merupakan bentuk keberuntungan. Dengan kekuasaan tersebut, dia akan memperoleh berbagai fasilitan dan kemudahan.
Sementara pada kondisi Nabi Yusuf, negeri Mesir saat itu sedang dilanda kebangkrutan, kelaparan dan kehancuran. Keberanian Nabi Yusuf untuk mengajukan diri sebagai bendahara bukan atas dasar keberuntungan yang hendak ia peroleh. Namun, laksana seorang prajurit yang mempertaruhkan hidupnya. Ibarat pasukan pemadam kebakaran, ia tidak tahu apakah akan kembali dengan selamat atau justru berubah menjadi abu.